Pasar saham global dan domestik pekan lalu diwarnai oleh sejumlah sentimen penting, terutama terkait keputusan Federal Open Market Committee (FOMC) Amerika Serikat. FOMC mempertahankan suku bunga acuan, sesuai ekspektasi pasar. Namun, revisi proyeksi ekonomi AS memicu kekhawatiran baru.
Revisi tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang direvisi lebih rendah, sementara angka pengangguran dan inflasi justru direvisi lebih tinggi. Hal ini menimbulkan pandangan yang lebih memprihatinkan terhadap perekonomian AS dan kembali memunculkan diskusi tentang potensi stagflasi di antara pelaku pasar. “Secara keseluruhan, hal ini menimbulkan pandangan yang lebih memprihatinkan di Amerika Serikat (AS) dan sekali lagi memunculkan diskusi tentang stagflasi di AS di antara pelaku pasar,” demikian mengutip dari Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Senin (24/3/2025).
Proyeksi ekonomi terbaru dari FOMC menunjukkan tingkat pertumbuhan jangka panjang yang stabil di 1,8 persen. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi pada 2025 direvisi turun dari 2,1 persen (proyeksi Desember) menjadi 1,7 persen. Angka pengangguran juga direvisi naik menjadi 4,4 persen pada 2025 dari 4,3 persen sebelumnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, inflasi personal consumption expenditure (PCE) direvisi naik dari 2,5 persen menjadi 2,8 persen untuk tahun 2025.
Ketidakpastian kebijakan perdagangan global juga menjadi faktor utama kekhawatiran. “Secara keseluruhan kekhawatiran utama terletak pada ketidakpastian yang timbul dari kebijakan perdagangan yang tak stabil serta dampak signifikannya terhadap inflasi tahun ini,” demikian seperti dikutip. Ketidakpastian ini turut mendorong harga emas mencapai level tertinggi, bahkan sempat menyentuh USD 3.050 per troy ounce.
Dampak pada Pasar Saham Indonesia
Di Indonesia, pasar saham mengalami volatilitas yang signifikan pekan lalu. IHSG sempat anjlok lebih dari 5 persen dalam sehari, mengakibatkan penghentian sementara perdagangan (trading halt), yang pertama kalinya terjadi sejak pandemi COVID-19. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespon dengan mengizinkan perusahaan untuk melakukan buyback saham tanpa RUPS, untuk menenangkan pasar.
Meskipun langkah OJK tersebut membantu mengembalikan kepercayaan investor, aliran dana asing masih keluar dari pasar saham Indonesia. Namun, Ashmore Asset Management Indonesia tetap optimistis terhadap prospek saham Indonesia dalam jangka panjang. Mereka menilai valuasi saham Indonesia saat ini masih sangat murah, sekitar 12,2 x P/E, jauh di bawah standar deviasi dalam sepuluh tahun terakhir, dan terdiskon signifikan dibandingkan negara berkembang lainnya.
Selain itu, Ashmore melihat peluang investasi di pasar obligasi Indonesia. Penerbitan obligasi yang masih relatif ketat diproyeksikan akan menghasilkan imbal hasil yang lebih normal dibandingkan saat ini yang tergolong tinggi. “Oleh karena itu, baik saham dan obligasi memberikan peluang besar untuk investasi dengan harga murah,” demikian kesimpulan Ashmore.
Analisis Kinerja IHSG Pekan Lalu
IHSG mengalami penurunan signifikan sebesar 3,95 persen pada periode 17-21 Maret 2025, ditutup pada posisi 6.258,17. Penurunan ini lebih besar dibandingkan pekan sebelumnya yang hanya turun 1,8 persen. Kapitalisasi pasar bursa juga anjlok 3,68 persen menjadi Rp 10.822 triliun.
Herditya Wicaksono dari PT MNC Sekuritas menyebutkan beberapa faktor penyebab penurunan IHSG. Pertama, sikap The Fed yang masih hawkish dan mempertahankan suku bunga acuan di 4,5 persen, meskipun memberikan sinyal pemangkasan dua kali pada 2025. Kedua, The Fed merevisi turun proyeksi ekonomi AS dan menaikkan estimasi inflasi akibat kebijakan tarif impor AS.
Ketiga, meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara AS dan Yaman, berpotensi mengganggu pasokan minyak dan meningkatkan harga minyak mentah. Keempat, masih adanya outflow dana asing dari IHSG, yang diperkirakan mencapai Rp 30,82 triliun secara year-to-date (YTD), dipicu oleh isu reshuffle kabinet, meskipun hal ini telah dibantah oleh pemerintah. Kelima, downgrade rating Indonesia oleh Morgan Stanley dan Goldman Sachs juga turut mempengaruhi iklim investasi.
Aksi Jual Saham oleh Investor Asing
Investor asing membukukan penjualan saham bersih sebesar Rp 7,13 triliun sepanjang pekan tersebut, lebih tinggi dibandingkan pekan sebelumnya (Rp 3,69 triliun). Total penjualan saham oleh investor asing sepanjang tahun 2025 mencapai Rp 33,18 triliun. Meskipun demikian, rata-rata nilai transaksi harian bursa meningkat sebesar 61,83 persen menjadi Rp 15,21 triliun, sementara rata-rata volume transaksi harian naik 18,63 persen menjadi 20,53 miliar saham.
Herditya menambahkan bahwa spekulasi pergeseran aset besar dari Indonesia ke China juga diperkirakan berkontribusi pada aksi jual tersebut. Kesimpulannya, kondisi pasar saham global dan domestik masih diwarnai ketidakpastian. Meskipun valuasi saham Indonesia dinilai murah, aliran modal asing yang masih negatif dan sentimen global yang kurang kondusif menjadi tantangan tersendiri bagi pasar modal Indonesia.