Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan imbauan tegas kepada seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Penyelenggara Negara (PN) untuk menolak dan melaporkan segala bentuk gratifikasi sesegera mungkin. Imbauan ini disampaikan melalui Surat Edaran Ketua KPK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Pencegahan dan Pengendalian Gratifikasi Terkait Hari Raya, yang ditandatangani Ketua KPK, Setyo Budiyanto pada 14 Maret 2025.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menekankan pentingnya kewaspadaan ASN dan PN terhadap gratifikasi, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri 1446 H. “Melalui surat ini, KPK mengingatkan para ASN dan PN untuk menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, terlebih dalam rangka perayaan Hari Raya Idul Fitri 1446 H,” tegas Budi Prasetyo dalam keterangan resminya.
Penerimaan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugas atau kewajiban merupakan pelanggaran serius. Hal ini tidak hanya melanggar aturan dan kode etik, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. KPK menegaskan bahwa permintaan dana atau hadiah sebagai Tunjangan Hari Raya (THR) atau sebutan lainnya, baik secara individu maupun institusi, kepada pihak lain adalah perbuatan terlarang.
Lebih lanjut, Budi Prasetyo menjelaskan bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berisiko tinggi terhadap tindakan korupsi. Oleh karena itu, KPK menghimbau pimpinan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) dan BUMN/BUMD untuk melarang penggunaan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi. Fasilitas dinas semestinya hanya digunakan untuk kepentingan kedinasan.
Pencegahan Gratifikasi di Berbagai Sektor
KPK mendorong pimpinan K/L/PD dan BUMN/BUMD untuk menerbitkan imbauan internal guna mencegah penerimaan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugas. Tidak hanya itu, KPK juga meminta pimpinan asosiasi, perusahaan, dan masyarakat untuk mengambil langkah pencegahan dengan mengimbau anggotanya agar tidak memberikan atau menerima gratifikasi yang berpotensi suap.
Data yang dihimpun KPK menunjukkan peningkatan jumlah laporan gratifikasi. Selama dua bulan pertama tahun 2025, KPK menerima 689 laporan atas 774 objek gratifikasi dengan total nilai pelaporan mencapai Rp3.176.643.372. Rincian laporan tersebut menunjukkan adanya peningkatan kesadaran pelaporan dari berbagai instansi.
Rincian Laporan Gratifikasi Januari dan Februari 2025
Pada Januari 2025, KPK menerima 348 laporan dengan 395 objek gratifikasi, terdiri dari 224 laporan dari Unit Pengelola Gratifikasi (UPG) dan 124 pelaporan individu. Sementara itu, pada Februari 2025, KPK menerima 341 laporan dengan 379 objek gratifikasi, yang terdiri dari 231 laporan dari UPG dan 110 pelaporan individu.
Sumber laporan gratifikasi tersebut beragam. Sebanyak 689 laporan berasal dari 488 kementerian/lembaga, 125 BUMN/BUMD atau anak perusahaan, dan 76 Pemerintah Daerah. Jenis gratifikasi yang dilaporkan juga bervariasi, meliputi uang, voucher, logam mulia, makanan, minuman, cendera mata, tiket perjalanan, dan lain-lain.
Dari data tersebut, terlihat bahwa upaya pencegahan dan pengendalian gratifikasi perlu terus ditingkatkan. Pentingnya kesadaran dan komitmen dari seluruh ASN dan PN untuk mematuhi aturan dan menolak segala bentuk gratifikasi yang berpotensi menimbulkan korupsi sangatlah penting. KPK akan terus melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Sebagai informasi tambahan, peningkatan jumlah laporan gratifikasi dapat diinterpretasikan sebagai peningkatan kesadaran akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, hal ini juga menunjukkan masih tingginya potensi terjadinya gratifikasi. Oleh karena itu, upaya preventif dan edukasi yang lebih masif tetap diperlukan.
Kasus 8 orang yang terjaring OTT di OKU Sumsel terkait suap proyek Dinas PUPR, dengan nilai uang yang diamankan mencapai Rp 2,6 miliar, menjadi pengingat pentingnya komitmen bersama dalam memberantas korupsi. Kasus ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penegakan hukum harus terus dilakukan secara konsisten.