Sebuah kios makanan di Penang, Malaysia, baru-baru ini menjadi sorotan karena label yang terpasang di kios tersebut. Label tersebut secara bersamaan mencantumkan keterangan “nonhalal” dan “muslim friendly,” menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Peristiwa ini menyoroti pentingnya kejelasan informasi terkait kehalalan makanan, terutama di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Malaysia. Ketidakjelasan seperti ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan permasalahan bagi konsumen Muslim.
Label Membingungkan: “Nonhalal” dan “Muslim Friendly”
Penjual makanan umumnya memberikan informasi mengenai menu yang dijual, termasuk harga dan bahan baku. Di negara mayoritas Muslim, informasi kehalalan menjadi sangat penting.
Namun, kios makanan di sebuah universitas di Penang ini justru mencantumkan label yang saling bertentangan: “nonhalal” dan “muslim friendly.” Hal ini tentu membingungkan karena kedua label tersebut memiliki makna yang berlawanan.
Label “nonhalal” mengindikasikan adanya bahan haram dalam makanan tersebut, sehingga tidak sesuai untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Sementara itu, “muslim friendly” secara harfiah berarti ramah Muslim, yang dapat diinterpretasikan sebagai makanan yang aman dikonsumsi, meskipun tidak memiliki sertifikasi halal.
Reaksi dan Tindakan Pihak Universitas
Asmeelya Ishak, seorang asisten peneliti pascasarjana di universitas tersebut, mengunggah foto kios tersebut ke media sosial. Unggahannya langsung viral dan mendapat banyak komentar.
Dalam unggahannya, Asmeelya dengan tegas menyatakan bahwa “nonhalal” bukanlah sinonim dari “muslim friendly,” dan menyarankan agar label yang lebih jelas seperti “BUKAN UNTUK MUSLIM” digunakan.
Pihak universitas merespon cepat atas permasalahan ini. Din Shamsudin Hussin, seorang alumni universitas, menginformasikan bahwa otoritas universitas segera menutup kios tersebut dan melakukan pembersihan.
Ia juga menekankan pentingnya pemahaman mengenai isu halal dan haram bagi penyelenggara acara dan mahasiswa, serta menyerukan agar tidak menyalahgunakan fleksibilitas yang diberikan.
Dampak dan Pelajaran Berharga
Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran mengenai pemahaman dan penerapan aturan kehalalan makanan. Ketidakjelasan informasi dapat menyebabkan kerugian bagi konsumen Muslim.
Kios tersebut, bernama “Potato Kingdom,” menjual berbagai menu seperti makanan berbumbu kuning telur asin, mala, dan keju, serta muah chee. Semua menu ini berpotensi mengandung bahan non-halal.
Kasus ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, ada laporan serupa mengenai keluarga Malaysia yang membeli jajanan non-halal dari penjual berhijab di Thailand. Kejadian ini menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan verifikasi kehalalan makanan, terlepas dari penampilan penjual.
Kasus ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kejelasan dan transparansi informasi mengenai kehalalan makanan. Baik penjual maupun pihak berwenang perlu memastikan informasi yang diberikan akurat dan mudah dipahami oleh konsumen.
Kejadian ini juga menyoroti pentingnya edukasi mengenai konsep halal dan haram, khususnya bagi generasi muda, agar terhindar dari kesalahpahaman dan permasalahan serupa di masa depan. Dengan demikian, kesadaran dan kepedulian bersama akan menciptakan lingkungan konsumsi makanan yang lebih aman dan nyaman bagi semua pihak.