Alvaro Morata, penyerang Galatasaray, mengakui kesalahan keputusannya meninggalkan Atletico Madrid pada musim panas lalu. Ia merasa terburu-buru dan tidak mempertimbangkan segala aspek dengan matang sebelum mengambil keputusan tersebut.
Kepindahan Morata ke AC Milan terjadi setelah ia meraih kemenangan Piala Eropa 2024 bersama timnas Spanyol. Tekanan besar di Spanyol dan persepsi bahwa ia bukan prioritas utama Atletico, yang kemudian merekrut Alexander Sorloth dan Julian Alvarez, turut memengaruhi keputusannya.
Meskipun menjadi andalan di Milan dengan torehan lima gol dan dua assist dari 18 penampilan, Morata akhirnya bergabung dengan Galatasaray pada Februari lalu setelah pelatih Paulo Fonseca dipecat. Perubahan ini menandai babak baru dalam kariernya.
Setelah beberapa bulan di Turki, Morata melihat situasinya dari perspektif yang lebih luas. Ia menyadari kesalahannya, namun tidak menyesalinya. Dalam wawancara dengan Cadena Ser dan dikutip Diario AS, ia mengungkapkan, “Saya rasa saya seharusnya lebih memikirkan banyak hal di musim panas, apakah saya harus meninggalkan Atleti atau tidak. Ketika Anda tidak merasa sehat pada level tertentu di hidup Anda, Anda membuat keputusan yang buruk dalam setiap aspek.”
Morata menambahkan bahwa ia bahagia di Galatasaray saat ini dan tidak bisa mengubah masa lalu. “Namun Anda tidak dapat mengubahnya; saya sangat bahagia sekarang. Jika saya dapat menariknya kembali, saya mungkin tidak akan membuat keputusan itu,” tuturnya.
Pengalaman ini membuatnya menyadari kurangnya pemahamannya terhadap situasi sebenarnya. Ia merasakan bahwa banyak orang di Atletico sebenarnya masih mendukung dan menyayanginya, terutama setelah keberhasilan di Piala Eropa. “Sekarang saya datang ke sini (Galatasaray) dan menyadari bahwa saya tidak tahu bagaimana melihat kenyataan. Tepat ketika kami menjadi juara Eropa, semakin banyak orang di Atleti yang mencintai saya dan berhasil memahami saya,” jelasnya.
Masa-masa sulit yang dialaminya membuatnya melihat segala hal dalam bayang-bayang keraguan. Meskipun dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya, ia tetap merasa terganggu. Kesempatan di Milan datang, bahkan pelatihnya menelepon setiap hari. “Ketika Anda melewati masa-masa sulit, Anda melihat segala sesuatu dalam area abu-abu, bahkan jika Anda memiliki orang-orang di sekitar Anda yang mencintai Anda dan bilang bahwa Anda salah. Selama Piala Eropa, semua hal ini mengganggu saya, dan kesempatan di Milan pun datang, pelatihnya menelepon saya tiap hari,” kata Morata.
Ia membutuhkan rasa dicintai dan dihargai, namun mengakui bahwa ia gagal melihat apresiasi dari pelatih Atletico, Diego Simeone (“Cholo”). “Saya perlu merasa dicintai dan dihargai, meskipun jika melihat ke belakang, saya gagal melihat bahwa Cholo (panggilan Diego Simeone, pelatih Atletico) juga menghargai dan mencintai saya. Ayah dan agen saya mengatakan bahwa saya salah,” akunya.
Keputusan Morata meninggalkan Atletico Madrid merupakan contoh bagaimana tekanan, persepsi pribadi, dan kurangnya pertimbangan matang dapat memengaruhi karier seorang atlet profesional. Meskipun ia mengakui kesalahannya, pengalaman ini mungkin akan menjadi pelajaran berharga baginya di masa depan. Kisah ini juga menyoroti pentingnya komunikasi dan hubungan baik antara pemain dan klub, serta pentingnya perspektif yang seimbang dalam pengambilan keputusan.
Faktor-faktor lain yang mungkin juga berperan dalam keputusannya, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, termasuk aspek finansial, kesempatan bermain reguler, dan ambisi pribadi. Semua ini merupakan pertimbangan yang kompleks dan seringkali sulit dipisahkan ketika seorang pemain sepak bola memutuskan masa depannya.