Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) dan Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kembali menggelar Bulan Literasi Kripto (BLK). Inisiatif tahunan ini bertujuan meningkatkan edukasi publik tentang aset digital di Indonesia, mengingat tingkat literasi keuangan dan pemahaman aset kripto masih relatif rendah.
Program BLK merupakan bagian dari komitmen industri untuk mendorong pemahaman yang lebih luas mengenai aset kripto dan teknologi blockchain. Kerja sama dengan OJK semakin memperkuat upaya ini, mengingat OJK kini memegang tanggung jawab pengaturan dan pengawasan aset kripto sejak 10 Januari 2024, sesuai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Data menunjukkan angka literasi keuangan umum di Indonesia baru mencapai 65%, literasi keuangan digital sekitar 45%, dan pemahaman terhadap aset kripto hanya 31,8%. Angka-angka ini menyoroti urgensi program literasi seperti BLK.
“Kami menegaskan pentingnya transparansi dan perlindungan konsumen dalam menjaga kepercayaan publik terhadap industri ini,” ujar Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) OJK, Djoko Kurnijanto.
Djoko juga menekankan pentingnya riset mandiri (“Make Your Own Research” atau MYOR) sebelum berinvestasi di aset kripto. Hal ini untuk melindungi investor dari potensi kerugian akibat investasi yang tidak terinformasikan dengan baik.
Direktur Pengawasan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK, Uli Agustina, menambahkan bahwa OJK berperan ganda sebagai regulator dan pengawas market conduct untuk perlindungan konsumen. OJK tidak hanya mengawasi pasca-kejadian, tetapi juga proaktif dalam literasi dan edukasi.
Selain BLK, OJK juga menyelenggarakan program lain seperti Bulan Fintech dan berbagai inisiatif digital untuk meningkatkan pemahaman publik. Indodax, sebagai salah satu pemain utama di industri, juga aktif berpartisipasi dalam program-program literasi ini.
Pentingnya Penegakan Hukum dan Pencegahan Kejahatan Digital
Perkembangan pesat industri aset digital juga membawa tantangan dalam hal penegakan hukum dan pencegahan kejahatan. Aset kripto dapat menjadi subjek, sarana, maupun objek kejahatan, seperti investasi bodong dan pencucian uang.
Kasubdit III Dittipideksus Bareskrim Polri, Kombes Pol. Robertus Yohanes De Deo Tresna Eka Trimana, menjelaskan tiga kategori utama keterkaitan aset kripto dengan kejahatan. Kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan penegak hukum sangat krusial untuk mencegahnya.
Robertus menambahkan bahwa potensi pencucian uang melalui aset digital cukup besar. Bareskrim Polri telah melakukan kajian sejak 2009 tentang penggunaan aset digital dalam kejahatan finansial. Dialog dan pertukaran informasi menjadi kunci mitigasi risiko.
AKBP Irvan Reza dari Kanit 2 Subdit 2 Dittipidsiber Bareskrim Polri, menekankan bahwa meskipun anonimitas dalam aset digital menjadi tantangan, investigasi kejahatan berbasis blockchain justru lebih mudah dibandingkan metode konvensional. Namun, faktor manusia tetap menjadi tantangan utama dalam keamanan siber, bukan hanya sistem IT.
Pihak kepolisian terus meningkatkan mitigasi risiko dengan berbagai pihak terkait, termasuk penyedia layanan aset kripto. Meskipun keamanan sistem IT tak pernah sempurna, pelaku industri di Indonesia telah berupaya menerapkan keamanan terbaik.
Kesimpulannya, upaya edukasi dan literasi publik seperti BLK sangat penting untuk melindungi investor dari risiko kerugian dan menjaga kepercayaan publik. Kolaborasi antara OJK, asosiasi industri, dan penegak hukum menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem aset kripto yang aman, transparan, dan tertib di Indonesia. Perhatian pada pencegahan kejahatan digital juga sama pentingnya untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan industri ini secara berkelanjutan.