Dalam syair klasik Arab “Tob Tobi Tob” atau “Sawt Al-Safiri Al-Bulbuli,” kicauan burung bulbul menjadi metafora keindahan cinta dan harmoni alam. Bait-baitnya mengajak kita merenung, layaknya tadabur alam, untuk menyadari semesta sebagai narasi hidup, bukan sekadar benda mati.
Syair ini bukanlah sekadar rangkaian kata berima, tetapi puisi alam yang dinyanyikan kembali oleh manusia. Simbol-simbol seperti burung bulbul, air, bunga, dan bulan menjadi ayat-ayat yang perlu direnungkan, sejalan dengan firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 190-191.
Alam yang Terluka: Kontras Antara Syair dan Realita
Ironisnya, di tengah viralnya “Tob Tobi Tob” di TikTok, kenyataan pahit kerusakan ekologis akibat ulah manusia menampakkan diri. Banjir bandang, kebakaran hutan, krisis air bersih, dan kepunahan spesies adalah jeritan alam yang kita abaikan.
Di Kalimantan, hutan tropis yang menjadi habitat burung bulbul diratakan untuk pertambangan nikel dan perkebunan sawit. Di Bangka, tambang timah ilegal merusak kebun-kebun kecil dan bukit granit. Keindahan metafora burung bulbul yang kita kagumi dalam syair, berkontras tajam dengan hilangnya habitat nyata burung tersebut.
Tadabur Alam: Dari Simbolik Menuju Aksi Nyata
Tadabur alam seharusnya bukan hanya aktivitas simbolik atau ritual rekreatif. Ia harus menjadi kesadaran ekologis yang nyata.
Melihat keindahan alam semestinya diiringi tanggung jawab untuk menjaganya. Hakikat tadabur adalah memelihara dan menundukkan diri, menyadari peran manusia sebagai khalifah, bukan penguasa mutlak.
Syair “Tob Tobi Tob” mengingatkan kita pada masa kejayaan ilmu dan sastra Islam di era Abbasiyah, di mana seni dan sains digunakan untuk memperhalus jiwa dan menumbuhkan kecintaan pada ciptaan Allah.
Menulis Syair Harapan: Melestarikan Alam untuk Generasi Mendatang
Burung bulbul dalam syair melambangkan keseimbangan alam. Kicauannya merdu jika habitatnya terjaga; air mengalir jernih jika hutan lestari; bulan bersinar terang jika langit bebas polusi.
Mengajarkan “Tob Tobi Tob” kepada anak-anak harus diiringi pesan tentang ancaman terhadap habitat burung bulbul. Tadabur alam dapat menjadi jembatan untuk menanamkan rasa cinta dan kepedulian lingkungan.
Kearifan lokal seperti yang dipegang suku Baduy dan suku Lom menunjukkan harmoni manusia dan alam. Namun, nilai-nilai tersebut terkikis oleh konsumerisme dan eksploitasi sumber daya alam.
Kita perlu lebih banyak “penyair” – pendidik, aktivis lingkungan, dai, dan pemimpin – yang bisa merangkai narasi kebaikan dalam menjaga bumi. Perjuangan untuk menyelamatkan alam adalah perjuangan terakhir untuk generasi mendatang.
Pilihan kita hari ini menentukan masa depan. Menjaga alam, sekecil apa pun, adalah menulis syair baru tentang harapan dan kelestarian. Mari kita buka mata, telinga, dan hati untuk mendengar suara alam yang selama ini kita abaikan. Bumi adalah kitab yang terbentang luas, penuh hikmah yang menunggu untuk direnungkan.
Randi Syafutra, dosen Prodi Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung.