Serangan brutal Israel di Gaza pada Selasa, 18 Maret 2025, telah menewaskan hampir 600 warga Palestina. Angka ini dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan Gaza dan sejumlah media internasional, seperti Al Jazeera dan The Guardian. Korban tewas didominasi oleh perempuan dan anak-anak, menunjukkan betapa mengerikannya serangan tersebut.
Serangan ini menandai berakhirnya gencatan senjata yang dicapai pada Januari 2025, setelah konflik bersenjata antara Israel dan Hamas pecah pada 7 Oktober 2023. Gencatan senjata yang rapuh itu telah runtuh, memicu gelombang kekerasan baru yang menghancurkan Gaza.
Laporan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa serangan udara dan darat Israel terkonsentrasi di beberapa kota di Gaza, termasuk Rafah, Khan Younis di selatan, dan Beit Lahiya di utara. Intensitas serangan yang terus meningkat mengakibatkan jumlah korban jiwa yang terus bertambah dan diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa hari mendatang.
Tragedi di Balik Angka: Kisah-Kisah Korban
Salah satu kisah yang paling menyayat hati adalah kematian seorang bayi berusia satu tahun yang sedang tidur bersama keluarganya di sebuah tenda di zona yang dianggap aman di al-Mawasi, Gaza. Kekejaman serangan ini tak memandang usia dan kondisi. Bayi tak berdosa menjadi korban dari konflik yang jauh melampaui pemahaman mereka.
Sebuah serangan terhadap sebuah rumah keluarga di Abasan al-Kabira, dekat Khan Younis, menewaskan sedikitnya 16 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Di antara korban terdapat seorang ayah dan tujuh anaknya, menunjukkan betapa luasnya dampak serangan terhadap satu keluarga. Tragedi ini berulang di berbagai lokasi di Gaza.
Rumah sakit-rumah sakit di Gaza, termasuk Rumah Sakit Eropa di Rafah dan Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, kelimpungan menangani jumlah korban yang membludak. Rumah sakit di Gaza utara juga melaporkan jumlah korban yang tinggi, dengan rumah sakit Indonesia di Beit Lahiya menerima jenazah tujuh orang. Bahkan, serangan kedua di Beit Lahiya menewaskan banyak pelayat yang sedang melayat di pemakaman.
Krisis Kesehatan dan Infrastruktur
Situasi di rumah sakit-rumah sakit Gaza digambarkan sangat mengerikan. Korban luka-luka tergeletak berlumuran darah, sementara rumah sakit kekurangan pasokan medis vital, seperti obat-obatan, peralatan operasi, dan oksigen. Kekurangan bahan bakar juga memperburuk situasi, mempengaruhi operasional rumah sakit dan fasilitas-fasilitas penting lainnya.
Direktur pusat informasi kesehatan di Kementerian Kesehatan Gaza, Zaher al-Wahidi, menggambarkan situasi tersebut sebagai bencana kemanusiaan. Ia menekankan kekurangan bahan bakar yang parah di stasiun pengisian bahan bakar, stasiun desalinasi, dan rumah sakit, mengancam kehidupan lebih banyak warga Gaza.
Lebih dari 70 persen korban luka-luka di rumah sakit al-Aqsa Martyrs di Deir al-Balah adalah perempuan dan anak-anak, sebagian besar dalam kondisi kritis. Ini memperlihatkan dampak yang tidak proporsional dari konflik terhadap kelompok rentan di Gaza.
Tanggapan Internasional dan Dampak Lebih Luas
Serangan Israel di Gaza telah memicu kecaman internasional yang meluas. PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan menyerukan penghentian kekerasan dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza yang menderita. Namun, perlu upaya lebih besar dari komunitas internasional untuk memastikan perlindungan warga sipil dan mengakhiri konflik ini.
Konflik ini juga berpotensi memicu ketidakstabilan regional yang lebih luas. Perlu solusi politik yang komprehensif dan adil untuk menyelesaikan akar permasalahan konflik Israel-Palestina untuk mencegah tragedi kemanusiaan serupa terjadi di masa depan.
Perlu ditekankan bahwa angka korban jiwa yang dilaporkan merupakan angka sementara dan kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan berlanjutnya operasi militer Israel di Gaza. Situasi di lapangan tetap sangat dinamis dan membutuhkan perhatian internasional yang serius.